Powered By Blogger

Minggu, 21 Februari 2010

Hari Raya Ketiga

Dengan raut wajah yang menekuk ke bawah, aku pun berjalan menyusuri jalanan yang aspalnya masih basah karena sepanjang sore tadi hujan mengguyur Desa Air Bara, Bangka Belitung, tempat baru untuk berlatih mempertanggung jawabkan gelar sarjanaku. Derap langkahku semakin keras seakan tidak mau kalah dengan deru suara jangkrik yang kian membinal karena malam terlalu sepi.
Aku tak tahu ada apa dengan malam ini. Sungguh diluar biasanya. Tidak satupun yang lalu lalang, padahal jam tanganku baru menunjukkan jam delapan lewat lima belas dan sesekali ku lihat lagi jam yang menempel di tangan kiriku itu, karena memang aku ragu dengan keadaan yang tidak sewajarnya. Hal ini semakin menambah hasrat untuk cepat sampai di rumah baruku semakin menjadi-jadi.
Sangat melelahkan memang, setelah hampir satu minggu aku disibukkan dengan korban demam berdarah yang jumlahnya membludak, tapi menjadi kebanggaan tersendiri bagiku karena sebagai dokter muda yang baru lulus dua tahun yang lalu dari universitas terkemuka di Jakarta berhasil megalahkan kegoisanku dan mengabdikan ilmuku di desa yang boleh dikatakan masih cukup ketinggalan, baik dari segi peradaban maupun pengetahuan.
Tiba-tiba dari balik pekat, perlahan muncul sosok lelaki kurus tinggi berpakaian serba bagus, semakin mendekat dan akhirnya bisa terkenali.
”Assalamualaikum...”
”Selamat malam Pak Ardi...????” sapaku menggunakan bahasa Indonesia, karena sampai saat ini aku belum bisa berbahasa Bangka sambil meghentikan langkahku.
”Wa’alaikumsalam...”
”Selamat malam juga nak Franky...”
”Dari mana??? Kok kelihatannya lesu..??”
”Pulang kerja, Nak??”
”Iya Pak... Lagi banyak kerjaan..”
”Bapak sendiri mau kemana..?” lanjutku dengan nada suara seadanya karena sekujur tubuhku termasuk lidahku sudah tak kuasa menahan letih..
”Bapak mau ke mesjid...”
”Mari nak Franky...bapak duluan ya.... Assalamu’alaikum...” tambahnya sambil menepuk pundak kananku.
”Wa’alaikumsalam...” responku sambil melihat kepergiannya dengan tanda tanya.
” Ko’ jam segini ke mesjid, kan Isya sudah lewat..???.”aku bertanya dalam hati selaras dengan arah mata ku yang terus memandang ke arah kepergiannya.
Pak Ardi adalah satu dari sekian sedikitnya warga desa yang ku kenal selama hampir dua bulan aku berada di sini. Maklum, kesibukan sebagai seorang dokter satu-satunya membuatku jarang di rumah dan bergaul dengan warga desa lainnya. Untungya, mereka mengerti dengan hal tersebut.

Tanpa disadari semua gelap telah menghilang. Sinar matahari yang masih sangat merah mulai merambat masuk dari celah ventilasi kamar hingga menembus kelopak mataku yang masih merapat. Ditambah lagi suara gesekan sandal dan beberapa cengkerama orang mulai terdengar dari luar kamar ku yang menghadap ke muka jalan. Tubuhku dipaksa berangkat walaupu belum lenyap letih yang menghinggapi tubuhku.
Alangkah terkejutnya, ketika tirai kubuka. Ratusan warga desa berpakaian serba bagus berbondong-bondong berjalan menuju ke arah utara. Segera kucubit lenganku dan sesekali kutampar pelan wajahku karena aku belum yakin dengan kesadaranku.
Rasa penasaran menuntunku mengikuti mereka,setelah sholat subuh yang telat kutunaikan. Arah langkah mereka menuju sebuah mesjid. Tanpa banyak tanya aku terus mengikuti mereka, hingga aku benar-benar yakin bahwa tempat yang mereka tuju adalah mesjid. Di sana mereka membentuk masing-masing lingkaran yang cukup besar. Dihadapan mereka sudah disiapkan makanan dan minuman yang sudah terbungkus rapat oleh rantang.
”Ayo masuk...” teriak kepala desa kepada semua orang yang masih berada di luar, termasuk aku.
Karena ragu – ragu akan hal asing ini, arah langkah ku balikkan menjauh dari keramaian itu. Tapi perhatianku tidak luput dari situ. Ku perhatikan tahap demi tahap dengan teliti apa yang mereka lakukan.
”amin...amin....amin....” kata itu yang jelas terdengar dari radius tempatku melihat.
Tidak lama setelah itu terdengar benturan-benturan kecil rantang dengan lantai, rupanya ritual doa itu dilanjutkan dengan makan beersama.
”Ha..ha...ha....” gelak canda yang kudengar ketika mereka sedang makan.
Rasa peasaranku belum terpuaskan sampai di situ. Ku terus ikuti momen-momen yang terjadi setelah itu. Betapa bingungnya aku ketika melihat ruang tamu di setiap rumah didesa tersebut dipenuhi toples berisi kue. Itu bisa terlihat karena kebiasaan masyarakat desa membuka pintunya ketika siang, tidak seperti masyarakat perkotaan yang dominan menutup pintunya ketika matahari masih meraja dan itu mengesankan individualis masyarakat kota.
Satu tetangga bertamu ke rumah tetangga lainnya, begitu seterusnya, saling berganti berjabat tangan satu sama lain. Persis seprti ketika hari raya Idul Fitri. Khusus untuk peristiwa ini, aku terpaksa menemui Pak Rahman, kakak dari dosen yang pernah mangajarku dan sudah puluhan tahun tinggal di Bangka. Kebetulan kami juga masih punya hubungan darah dan boleh dikatakan sangat dekat. Tanpa menunggu lama, aku sampai di kediaman beliau yang hanya berjarak satu kilometer dari tempatku.
Rona wajah yang sudah tidak jelas serta keadaan rumah yang dipenuhi baju-baju berserakan membuatku bingung, karena aku tidak bisa membedakan apakah dia ikut merayakan atau tidak. Sebab jika seseorang merayakan sesuatu yang diharamkan,maka bisa jadi dia syirik. Dan apabila sesuatu yang harusnya dirayakan tetapi tidak dirayakan,bisa jadi dia orang yang merugi.
”Itu sesat...!!!! Sangat sesat...!!!!” serbuku tanpa basa – basi dan salam.
”Yah benar... kamu memag sesat...” jawab Pak Rahman yang membuatku semakin bingung.
”Hari ini 12 Rabiul Awal bukan 1 Muharram ataupun 10 Dzulhijjah, tapi mereka pikir ini hari raya..???”
”Karena bagi muslim yang sesungguhnya semua hari adalah sama, tidak harus menunggu 1 Muharram kita ameraih kemenangan, tapi setiap hari kita adalah pemenang...!!!” jelas Pak Rahman.
”Tapi, kenapa cuma hari ini??? Kenapa tidak minggu depan, bulan depan, atau enam bulan lagi...??? Kenapa pula harus berpakaian serba bagus??/”
”Mungkin kalau minggu depan itu bulan tua... ha...ha...ha...!!!” Jawaban yang membingungkan dari Pak Rahman sembari berangkat dari tempat duduknya.
”Kita satu agama, satu ajaran, dan satu tujuan... tapi, mengapa kita beda??”
”Karena beda adalah sebuah sunatullah. Yang beda itu hanya cara bukan tujuannya..”
”Tapi apakah mereka tidak syirik dengan melebihkan hari lahir Rasulullah dengan segala ritual yang tidak pernah dicontohkannya???”
”Beliau manusia mutiara yang hidup menjadi jelata, setiap baju yang sobek beliau jahit sendiri, tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, dan banyak lagi. Jadi, jangankan untuk merayakan ulang tahunnya, setiap ada waktu kosong ia selalu menangis memohon ampun kepada Allah walaupun sudah dijamin surga padanya...??? dan tidak pernah beliau mencontohkan ritual seperti yang mereka lakukan. Bukankah beliau adalah panutan kita....??”
”Ha....ha....ha.... otakmua yang jelata!!!!!”
”Ha...haa...ha..haa.....!!!!!” tawanya semakin keras.
”Hei.... dengarkan anak muda!!!” tiba-tiba intonasinya menjadi serius.
”Rasulullah diturukan ke bumi untuk membawa berita gembira, mengajarkan kita tentang kedisiplinan, persatuan, kebersamaan serta memperkenalkan kita kepada Allah....”
”Dan lihat apa yang mereka lakukan, mereka bangun pagi-pagi, kemudian ke rumah Allah dan berdoa, makan bersama, setelah itu saling silaturaahim dan muncul kegembiraan yang luar biasa...”
”Bukankah itu simbol dari mengapa Rasul diutus ke bumi ini????”
“Jika kamu kaji lebih dalam tentang sejarah ritual ini, tujuan darinya adalah bentuk dakwah yang terpraktekan. Menurut beberpa ulama terdahulu sangat disayangkan jika momen ini dilewatkan karena cuma dilalui saja tanpa sesuatu yang berarti. Makanya mereka sepakat setiap tanggal 12 Rabiul Awal mereka bangun pagi, ke mesjid, makan bersma, dan lain sebagainya, agar masyarakat tahu bagaimana dan apa misteri diutusnya Sang Baginda Nabi lewat simbol-simbol berupa dakwah yang dipraktekan...” jelasnya.
“Yang beda cuma cara bukan tujuan...”
“Dan berpeganglah kamu kalian pada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah kamu tercerai berai....” lanjutnya mengutip sepotong ayat pada Al-Qur’an mengakhiri penjelasannya sembari pergi meninggalkan ku
Lajunya seperti angin,cepat.tiada sanggup ku hadang.tetapi kata katanya tajam seperti pedang, membekas di sanubari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar